BANGKA, MPH
Mengubah hobi menjadi penghasilan. Maka tak perlu gengsi meski jadi seorang petani. Selama pandemi lalu, bercocok-tanam memang menjadi aktivitas paling diminati. Selain bisnis bisa dipasarkan melalui online market.
Seorang petani terong di Desa Karya Makmur Kecamatan Pemali, telah membuktikan bahwa menjadi petani bisa menghasilkan cuan. Dan, itulah yang dilakukan Koko Achen.
Koko adalah petani regenerasi yang masih tersisa di desanya, di saat pemuda lebih berpikir pragmatis demi mendapatkan penghasilan lebih dengan cara instan. Mereka ramai-ramai meninggalkan desa, karena terbujuk janji manis perkotaan yang mencerminkan hidup lebih baik di masa depan.
Tapi tidak dengan Ko Achen. Sudah hampir separuh hidup, ia menekuni hobi berkebun sayur dan buah (palawija). Filosofi bertani yang tangguh, sabar, tahan banting dalam segala medan adalah peninggalan orang tua (leluhur) nya menjadi prinsip mutlak untuk diaplikasikan di ladang.
Tahun ini saat masuk musim kemarau ia mulai berpikir tanaman yang cocok untuk ditanam saat nanti apabila musim penghujan tiba. Terong adalah alternatif pun ide kreatif. Tanaman ini bisa dibilang tanaman yang mudah tapi sulit. Mudah disaat mulai dipanen, sulit disaat hama sudah mulai berkembang biak dan barang tentu menjadi habit setiap tanamanan.
“Ya ini lah tantangan atau resiko setiap keputusan yang diambil. Dalam bertani pun hal ini adalah kemelekatan,” ungkapnya.
Diawal modal yang dikucurkan cukup hemat untuk konsep pertanian sederhana. Benih satu saset tanaman terong diharga 80k, mulsa 2 roll 1 juta, pupuk fermentasi kohe ayam merah yang dibuat sendiri, pestisida dan pupuk sintetis berkala, dll. Total keseluruhan dengan modal 1 juta setengah tanaman terong mulai ia kerjakan.
Dilain hal bantuan pemerintah pun sering ia terima dari mulai traktor bajak, pupuk, fasilitas sarana pertanian untuk para kelompok tani yang terdaftar di desa.
“Kami sudah sering dibantu oleh pemerintah, baik berupa sarana pertanian seperti mulsa, benih, pupuk, traktor bajak dan sarana yang lain,” ujarnya.
Lahan dengan luas 500 m² disulap menjadi 800 rumpun tanaman terong dan 120 rumpun timun dimana sukses dipanen mencapai 200kg per dua hari sekali. Dalam kurun waktu 2 bulan, produksi perdana dimulai dengan kisaran 30kg terong per 3 hari sekali.
“Ketika panen besar dimulai usia tanaman 3 bulan pertama HST (Hari setelah tanam). Per dua hari sekali kita bisa panen terong secara random dengan volume 200kg per 2 hari sekali dalam 800 rumpun tanaman. Harga langsung diambil pengepul Rp. 7000 per kilo tergantung pasaran. Biasanya kalo lagi banjir terong harga mulai turun. Tapi kalo barang (terong-red) susah, harga meningkat drastis,” ungkapnya
Bayangkan saja ketika 200kg perdua hari tanaman terong dipanen berarti cuan yang didapatkan koko achen sekitar Rp. 1.400.000.
“Tanaman terong ini bisa bertahan sampai 4 bulan setelah panen awal, jadi tergantung perawatan,” tutup koko achen.
Ide kreatif ini dirasa efektif untuk mencari penghasilan lebih bagi kaum muda yang tertarik untuk menekuni bisnis ini, tentunya tujuan bisnis ini tidak hanya soal menghasilkan cuan, tapi bentuk kontribusi kepada masyarakat sebagai pemasok lumbung pangan bagi 1 juta lebih jiwa rakyat Bangka Belitung.(tim)